Jumat, 30 September 2011

Monumen Nasional


Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Soekarno. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakara Pusat. 

Sejarah 

Setelah pusat pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Jakarta yang  sebelumnya berkedudukan di Yogyakarta pada tahun 1950 menyusul pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1949, Presiden Soekarno mulai memikirkan pembangunan sebuah monumen nasional yang setara dengan Menara Eiffel di lapangan tepat di depan Istana Merdeka .


Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terus membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang. Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Soekarno. Akan tetapi Soekarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk Lingga dan Yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik.

Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai proklamasi kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961. 

Pembangunan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama, kurun 1961/1962 - 1964/1965 dengan dimulainya secara resmi pembangunan pada tanggal 17 Agustus 1961 oleh Soekarno secara seremonial menancapkan pasak beton pertama. Total 284 pasak beton digunakan sebagai fondasi bangunan. Sebanyak 360 pasak bumi ditanamkan untuk fondasi museum sejarah nasional. Keseluruhan pemancangan fondasi rampung pada bulan Maret 1962. Dinding museum di dasar bangunan selesai pada bulan Oktober. Pembangunan obelisk kemudian dimulai dan akhirnya rampung pada bulan Oktober 1963. Pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966 hingga 1968 . Akibat terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G-30-S/PKI) dan upaya kudeta, tahap ini sempat tertunda. Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan diorama pada museum sejarah. Meskipun pembangunan telah rampung, masalah masih saja terjadi, antara lain kebocoran air yang menggenangi museum.

Monumen secara resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1975 oleh Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto. Lokasi pembangunan monumen ini dikenal dengan nama Medan Merdeka. Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur Medan Merdeka dipenuhi pengunjung yang berekreasi menikmati pemandangan Tugu Monas dan melakukan berbagai aktivitas dalam taman.


Rancang Bangun Monumen

Rancang bangun Tugu Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal yang abadi; Lingga dan Yoni. Tugu obelisk yang menjulang tinggi adalah lingga yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif, serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang pasif dan negatif, serta melambangkan malam hari. Lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi sedari masa prasejarah Indonesia. Selain itu bentuk Tugu Monas juga dapat ditafsirkan sebagai sepasang "alu" dan "lesung", alat penumbuk padi yang didapati dalam setiap rumah tangga petani tradisional Indonesia. Dengan demikian rancang bangun Monas penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Monumen terdiri atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi 17 meter, pelataran cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia. 

Kolam di Taman Medan Merdeka Utara berukuran 25 x 25 meter dirancang sebagai bagian dari sistem pendingin udara sekaligus mempercantik penampilan Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Pintu masuk Monas terdapat di taman Medan Merdeka Utara dekat patung Pangeran Diponegoro. Pintu masuk melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung menuju tugu Monas. Loket tiket berada di ujung terowongan. Ketika pengunjung naik kembali ke permukaan tanah di sisi utara Monas, pengunjung dapat melanjutkan berkeliling melihat relief sejarah perjuangan Indonesia; masuk ke dalam museum sejarah nasional melalui pintu di sudut timur laut, atau langsung naik ke tengah menuju ruang kemerdekaan atau lift menuju pelataran puncak monumen.




Relief Sejarah Indonesia


Relief timbul sejarah Indonesia menampilkan Gajah Mada dan sejarah Majapahit . Pada halaman luar mengelilingi monumen, pada tiap sudutnya terdapat relief timbul yang menggambarkan sejarah Indonesia. Relief ini bermula di sudut timur laut dengan mengabadikan kejayaan Nusantara di masa lampau, menampilkan sejarah kerajaan Singosari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah jarum jam menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia disusul Revolusi dan Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai masa pembangunan Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari semen dengan kerangka pipa atau logam, sayang sekali beberapa patung dan arca mulai rontok dan rusak akibat hujan dan cuaca tropis.




Ruang Kemerdekaan 


Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar di dari pintu sisi utara dan selatan. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.  Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan lagu " Padamu Negeri " kemudian diikuti oleh rekaman suara Soekarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi utara diding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pelataran Puncak Dan Api Kemerdekaan



Pelataran setinggi 115 meter tempat pengunjung dapat menikmati panorama Jakarta dari ketinggian

Sebuah elevator (lift) pada pintu sisi selatan akan membawa pengunjung menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut. Pelataran puncak ini dapat menampung sekitar 50 orang, serta terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih dekat. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta Bila kondisi cuaca cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kg, akan tetapi untuk menyambut perayaan setengah abad (50 tahun) kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran emas. Puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang bermakna agar Bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa. Pelataran cawan memberikan pemandangan bagi pengunjung dari ketinggian 17 meter dari permukaan tanah. Pelataran cawan dapat dicapai melalui elevator ketika turun dari pelataran puncak, atau melalui tangga mencapai dasar cawan. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 meter, sedangkan rentang tinggi antara ruang museum sejarah ke dasar cawan adalah 8 m (3 meter dibawah tanah ditambah 5 meter tangga menuju dasar cawan). Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia(17-8-1945). Sebanyak 38 kg emas pada obor monas tersebut merupakan sumbangan dari Teuku Markam, Orang Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.


 
Di kutip dari :

                  -       Wikipedia.com



Di sunting oleh : Abdul Rouf




Kamis, 29 September 2011

Ratu Kalinyamat


Ratu Kalinyamat adalah seorang tokoh wanita yang sangat terkenal. Dia tidak hanya berparas cantik, tetapi juga berkepribadian "gagah berani" seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai De Kranige Dame yang seorang wanita yang pemberani. Kebesaran Ratu Kalinyamat pernah dilukiskan oleh penulis Portugis Diego de Couto, sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa de rica yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa. Di samping itu, selama 30 tahun kekuasaannya ia telah berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya (Diego de Couto, 1778-1788).

Ratu Kalinyamat adalah tokoh wanita Indonesia yang penting peranannya pada abad ke-16. Peranannya mulai menonjol ketika terjadi perebutan tahta dalam keluarga Kesultanan Demak. Ia menjadi tokoh sentral yang menentukan dalam pengambilan keputusan. Di samping memiliki karakter yang kuat untuk memegang kepemimpinan, ia memang menduduki posisi strategis selaku putri Sultan Trenggana, Raja Demak ke tiga. Sultan Trenggana adalah putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Selama 30 tahun berkuasa, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara kepada puncak kejayaannya. Dengan armada lautnya yang sangat tangguh, Ratu Kalinyamat pernah dua sampai tiga kali menyerang Portugis di Malaka. Walaupun telah melakukan taktik pengepungan selama tiga bulan terhadap Portugis, ternyata ekspedisi tersebut mengalami kegagalan, dan pada akhirnya kembali ke Jawa. Seorang pemimpin ekspedisi militer Ratu Kalinyamat ke Malaka tersebut adalah Kyai Demang Laksamana (sumber Portugis menyebut dengan nama Quilidamao).

SIAPA RATU KALINYAMAT ?

Sejak terjadinya perebutan tahta di Demak, nama Ratu Kalinyamat muncul dalam panggung sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa. Dalam sejarah dinasti Demak, tokoh Ratu Kalinyamat mempunyai nama yang begitu menonjol ketika kerajaan itu mengalami kemerosotan akibat konflik perebutan tahta. Popularitasnya jauh lebih menonjol dibanding dengan Pangeran Hadiri, bahkan Sultan Prawata, raja Demak ke empat.

Ratu Kalinyamat adalah putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, sultan Demak yang pertama.Ratu Kalinyamat mempunyai nama asli Retna Kencana yang kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat. Retna Kencana kemudian tampil sebagai tokoh sentral dalam penyelesaian konflik di lingkungan keluarga Kesultanan Demak. Setelah kematian Arya Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat.

Penobatan ini ditandai dengan sengkalan tahun (candra sengkala) Trus Karya Tataning Bumi yang diperhitungkan sama dengan 10 April 1549. Selama masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara semakin pesat perkembangannya. Menurut sumber Portugis yang ditulis Meilink-Roelofsz menyebutkan bahwa Jepara menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar dan kuat pada abad ke-16.

Pada Babad Demak Jilid 2 menempatkan Ratu Kalinyamat sebagai puteri sulung Sultan Trenggana. Kalau ini benar, berarti gelar ratu sudah sepantasnya melekat padanya. Sebagai puteri sulung raja, ia disebut Ratu Pembayun. Pernyataan ini memiliki kesesuaian dengan sumber Portugis. Seorang musafir Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia datang di Banten pada tahun 1544, datang lah utusan Raja Demak, seorang wanita bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan adalah Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu diperoleh dari ayahnya, dan bukan berasal dari suaminya yang hanya seorang penguasa daerah setingkat adipati.

Menurut Babad Tanah Jawi, Sultan Trenggana mempunyai enam orang putra. Putra sulung adalah seorang putri yang dinikahi oleh Pangeran Langgar, Putra ke dua seorang laki-laki yang bernama Pangeran Prawata yang kelak menggantikan ayahnya menjadi Sultan Demak ke tiga. Putra ke tiga seorang putri yaitu  Retna Kencana yang menikah dengan Kyai Wintang atau Pangeran Kalinyamat. Putra ke empat juga seorang putri yang menikah dengan seorang pangeran dari Kasultanan Cirebon. Putra ke lima juga putri menikah dengan Raden Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Ada pun putra bungsu adalah Pangeran Timur.

Dari sumber ini terungkap bahwa Ratu Kalinyamat memiliki nama asli Retna Kencana. Suaminya, Kyai Wintang mempunyai sebutan lain Pangeran Hadiri/Pangeran Hadirin atau Pangeran Kalinyamat.

Ratu Kalinyamat dapat digambarkan sebagai tokoh wanita yang cerdas, berwibawa, bijaksana, dan pemberani. Kewibawaan dan kebijaksanaannya tercermin dalam peranannya sebagai pusat keluarga Kesultanan Demak. Walau pun Ratu Kalinyamat sendiri tidak berputera, namun ia dipercaya oleh saudara-saudaranya untuk mengasuh beberapa keponakannya. Menurut sumber-sumber sejarah tradisional dan cerita-cerita tutur di Jawa, ternyata ia menjadi pusat keluarga Kerajaan Demak yang telah tercerai berai sesudah meninggalnya Sultan Trenggana dan Sultan Prawata.

Ratu Kalinyamat adalah seorang raja perempuan yang bertempat tinggal di Kalinyamat, suatu daerah di Jepara yang sampai sekarang masih ada. Kalinyamat kira-kira 18 km dari Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Jepara-Kudus. Pada abad ke-16 Kalinyamat menjadi tempat kedudukan raja-raja di Jepara. Kalinyamat adalah nama suatu daerah yang juga dipakai sebagai nama penguasanya.

C.Leeuwendal, Asisten Residen Jepara dalam Oudheidkundig Verslag 1930 menjelaskan mengenai lokasi kraton Kalinyamat dengan menggunakan berita dari Diego de Couto. Peta Karesidenan Kalinyamat terletak kira-kira 2 pal sebelah selatan Krasak dan di sebelah barat jalan besar Kudus-Jepara.

Sementara itu P.J. Veth (1912) mencatat bahwa Kalinyamat pernah menjadi tempat kedudukan Ratu Jepara, suatu tempat yang ditemukan jejak-jejak atau bekas kebesaran masa lalu. Meski pun penduduk setempat dan para pegawai sama sekali tidak tahu tempat yang tepat dari bekas istana, tetapi setiap orang berbicara mengenai Ratu Kalinyamat. Di berbagai desa seperti Purwogondo, Robayan, Kriyan, dan tempat-tempat lain terdapat legenda mengenai Ratu Kalinyamat. Ada dugaan Krian mungkin merupakan tempat para "rakriya" (para bangsawan). Beberapa tempat di daerah ini masih bernama Pecinan, pada hal tidak ada lagi orang Cina yang bertempat tinggal di situ. Kemudian diketahui bahwa desa Robayan dan beberapa desa lainnya masih memakai nama Kauman. Di tempat-tempat tertentu orang masih menyebutnya dengan nama Sitinggil (Siti-inggil), yang terletak di tengah-tengah tanah tegalan. Di situ ditemukan dinding tembok dari kraton lama yang diperkirakan panjang kelilingnya antara 5-6 km persegi. Di sana sini terdapat benteng yang menonjol ke luar. Batas-batas dari kraton kira-kira meliputi sepanjang jalan besar Kudus, Jepara, Kali Bakalan, yang pada tahun 1900-an merupakan garis batas antara onderdistrik Pacangaan, Welahan, dan Kali Kecek. Di kebanyakan tempat, tembok-tembok kraton itu masih dalam kondisi yang bagus. Di suatu tempat yang disebut Sitinggil, memang ditemukan bangunan batu bata yang ditinggikan, sementara di tempat lain menunjukkan adanya tempat mandi. Dengan melalui penggalian percobaan di beberapa tempat dapat ditemukan adanya dinding-dinding benteng yang sangat berat yang memanjang sampai beberapa ratus meter. Di tempat itu juga ditemukan fondasi-fondasi yang terbuat dari batu bata yang lebih kecil ukurannya dari pada emplasemen Majapahit. Batu-batu bata ini telah diambili dan dimanfaatkan oleh penduduk.

Di samping itu P.J. Veth memperoleh temuan penting dari berita Portugis mengenai "Cerinhama" atau "Cherinhama" yang disebut sebagai ibukota sebuah kerajaan laut atau kota pelabuhan Jepara yang terletak 3 mil atau kira-kira 12,5 pal ke pedalaman. Di tempat itu lah letak reruntuhan kraton Kalinyamat yang menjadi tempat kedudukan atau peristirahatan Ratu Jepara. Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.


BIOGRAFI RATU KALINYAMAT

Sejak masih gadis, Ratu Kalinyamat memperoleh kepercayaan untuk memangku jabatan Adipati Jepara. Kala itu wilayah kekuasaannya meliputi Jepara, Pati, Kudus, Rembang dan Blora. Kerajaan kecilnya mula-mula didirikan di Kriyan.

Ratu Kalinyamat menikah dengan Pangeran Hadiri. Salah satu versi menyebutkan bahwa ia adalah putera Sultan Ibrahim dari Aceh, yang bergelar Sultan Muhayat Syah. Waktu kecilnya bernama Pangeran Toyib. Setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat, ia diberi gelar Pangeran Hadiri, yang berarti yang hadir (dari Aceh ke Jepara). Pertemuan dengan Ratu Kalinyamat terjadi karena pada waktu itu Pangeran Toyib diutus oleh Sultan Aceh untuk menimba ilmu pemerintahan dan agama Islam di Kesultanan Demak. Lelaki berdarah Persia ini sangat tampan, arif bijaksana, berwawasan Islam luas, dan ketaatan iman, serta berani menentang penjajah Portugis. Setelah mengetahui asal-usul Raden Toyib, hati Ratu Kalinyamat menjadi berdebar-debar. Ia teringat akan ramalan ayahnya bahwa pria yang akan menjadi pendampingnya kelak bukan berasal dari kalangan orang Jawa, melainkan berasal dari negeri seberang. Kemudian Ratu Kalinyamat bersedia diperistri oleh Raden Toyib.

Pada masa mudanya Pangeran Toyib mengembara ke negri Cina. Di sana ia bertemu dengan Tjie Hwie Gwan, seorang Cina muslim yang kemudian menjadi ayah angkatnya. Konon, ayah angkatnya tersebut menyertainya ke Jepara. Setelah menikah dengan Ratu kalinyamat dan menjadi adipati di Jepara, Tjie Hrie Gwan diangkat menjadi patih dan namanya berganti menjadi Pangeran Sungging Badar Duwung (sungging ‘memahat’, badar ‘batu atau akik’, duwung ‘tajam’). Nama sungging diberikan karena Badar Duwung adalah seorang ahli pahat dan seni ukuir. Diceritakan bahwa dialah yang membuat hiasan ukiran di dinding masjid Mantingan. Ialah yang mengajarkan keahlian seni ukir kepada penduduk di Jepara. Di tengah kesibukannya sebagi mangkubumi Kadipaten Jepara, Badar Duwung masih sering mengukir di atas batu yang khusus didatangkan dari negeri Cina. Karena batu-batu dari Cina kurang mencukupi kebutuhan, maka penduduk Jepara memahat ukiran pada batu putih.

Kematian Pangeran Hadiri

Pernikahan Ratu Kalinyamat dengan Pangeran Hadiri tidak berlangsung lama. Hati Ratu Kalinyamat sangat terpukul atas kematian Pangeran Hadiri  Pada tahun 1549.
Sunan Prawata, raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang, sepupunya yang menjadi bupati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka,Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan.

Sunan Kudus adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal raja Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.

Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.

Menurut cerita. Selanjutnya dengan membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi lelah, kemudia melewati Pringtulis, Nalumsari. Dan karena lelahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong . Sesampainya di Purwogondo disebut demikian karena di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat, dan kemudian melewati Pecangaan dan sampai di Mantingan.

Di luar dugaan pihak Sunan Kudus dan Arya Penangsang, ternyata Ratu Kalinyamat tampil memainkan peranan penting dalam menghadapi Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat minta kepada Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang. Didorong oleh naluri kewanitaannya yang sakit hati karena kehilangan suami dan saudara, ia telah menggunakan wewenang politiknya selaku pewaris dari penguasa Kalinyamat dan penerus keturunan Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat memiliki sifat yang keras hati dan tidak mudah menyerah pada nasib. Menurut kisah yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, ia mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara menyepi di Gunung Danaraja.Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaannya apabila arya Penangsang telah Terbunuh.

Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak hanya berarti tanpa busana sama sekali, tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian indah seperti layaknya seorang ratu. Pikirannya ketika itu hanya dicurahkan untuk membinasakan Arya Penangsang. Di Gunung Danaraja itu lah Ratu Kalinyamat menyusun strategi untuk melakukan balas dendam kepada Arya Penangsang.

Peperangan antara Pajang dan Jipang tidak dapat terelakkan. Dalam peperangan itu, Arya Penangsang memimpin pasukan Jipang mengendarai kuda jantan bernama Gagak Rimang yang dikawal oleh prajurit Soreng. Adapun pasukan Pajang dipimpin oleh Ki Gede Pemahanan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani. Pasukan Pajang juga dibantu oleh sebagian prajurit Demak dan tamtama dari Butuh, pengging. Dalam peperangan itu Arya Penangsang terbunuh. Pertempuran dimenangkan oleh pihak Pajang dan Arya Penangsang gugur.

Setelah kematian Ario Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat. Penobatan ini terjadi dengan ditandai adanya sengkalan Trus Karya Tataning Bumi, yang diperhitungkan sama dengan tanggal 12 Rabiul Awal atu 10 April 1549. Selama masa kekuasaannya, Jepara semakin berkembang menjadi Bandar terbesar di pantai utara Jawa, dan memiliki armada laut yang besar serta kuat.

Tahun meninggalnya Ratu Kalinyamat tidak dicantumkan dalam kitab kesusasteraan Jawa. Ia dimakamkan di dekat suaminya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri, sesudah ia menjadi janda pada tahun 1549.Pengganti Ratu Kalinyamat adalah Pangeran Jepara yang berkuasa dari tahun 1579 sampai tahun 1599. Menurut cerita Babad Tanah Jawi, ia adalah anak angkat Ratu Kalinyamat. Akan tetapi sumber Sejarah Banten menyebutkan bahwa putra mahkota itu, yang bernama Pangeran Aria atau Pangeran Jepara itu adalah anak angkat Ratu Kalinyamat, putra Raja Hasanudin, Raja Banten. Pada masa inilah peranan Jepara sebagai kota pelabuhan yang penting mengalami masa kemerosotannya.



Di kutip dari :
      - Wikipedia.com
      - eprints.undip.ac.id 
    

    Di sunting Oleh : Abdul Rouf





 



Rabu, 28 September 2011

Komodo Island


KOMODO ISLAND

     Komodo Bukan sekedar legenda, Seekor naga yang hingga kini masih mendiami Kepulauan Indonesia bagian tengah. Raksasa dari dunia reptil ini punya reputasi sebagai predator puncak di kelasnya.
Sejak dulu di Pulau Komodo, jajaran Kepulauan Flores, Indonesia, telah muncul kisah tentang naga raksasa. Banyak pelaut yang berkisah bahwa naga ini lebih mirip Monster
yang menakutkan.

Ekornya yang besar bisa merubuhkan seekor kerbau hanya dengan satu kibasan. Rahangnya besar dan kuat, hingga mampu menelan seekor babi hutan dalam satu gerakan. Dan dari mulutnya senantiasa menyemburkan api.
Kisah ini beredar luas dan sempat menarik perhatian banyak orang. Namun tak pernah ada yang berani mendekati pulau tersebut untuk membuktikannya. Sampai akhirnya pada 1910-an awal, muncul laporan dari gugus satuan tempur Armada kapal Belanda  yang bermarkas di Flores tentang makhluk misterius yang diduga “naga” mendiami sebuah pulau kecil di wilayah Kepulauan Sunda Lesser (sekarang jajaran Kepulauan Flores, Nusa Tenggara).


Para pelaut militer Belanda tersebut memberi laporan bahwa makhluk tersebut kemungkinan berukuran sampai tujuh meter panjangnya, dengan tubuh raksasa dan mulut yang senantiasa menyemburkan api. Letnan Steyn van Hensbroek, seorang pejabat Administrasi Kolonial Belanda di kawasan Flores mendengar laporan ini dan kisah-kisah yang melingkupi Pulau Komodo. Ia pun merencanakan perjalanan ke Pulau Komodo.

Setelah mempersenjatai diri dan membawa satu regu tentara terlatih, ia mendarat di pulau tersebut. Setelah beberapa hari di pulau itu, Hensbroek berhasil membunuh satu spesies aneh itu.

Ia membawanya ke markas dan dilakukan pengukuran panjang hasil buruannya itu dengan panjang kira-kira 2,1 meter. Bentuknya sangat mirip kadal. Satwa itu kemudian dipotret (didokumentasikan) oleh Peter A Ouwens, Direktur Zoological Museum and Botanical Gardens Bogor, Jawa. Inilah dokumentasi pertama tentang komodo.

Ouwens tertarik dengan temuan satwa aneh tersebut. Ia kemudian merekrut seorang pemburu lihai untuk menangkap spesimen untuknya. Sang pemburu berhasil membunuh dua ekor komodo yang berukuran 3,1 meter dan 3,35 meter, plus menangkap dua anakan, masing-masing berukuran di bawah satu meter.

Berdasarkan tangkapan sang pemburu ini, Ouwens melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa komodo bukanlah naga penyembur api, melainkan termasuk jenis kadal monitor (monitor lizard) di kelas reptilia.

Hasil penelitiannya ini kemudian dipublikasikan pada koran terbitan tahun 1912. Dalam pemberitaan itu, Ouwens memberi saran nama pada kadal raksasa itu Varanus komodoensis sebagai pengganti julukan Komodo Dragon (Naga Komodo).

Sadar arti penting komodo sebagai satwa langka, Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan proteksi terhadap komodo dan Pulau Komodo pada 1915. Jadilah kawasan itu sebagai wilayah konservasi komodo.

Temuan komodo sebagai legenda naga yang hidup, memancing rasa ingin tahu dunia internasional. Beberapa ekspedisi ilmiah dari berbagai negara secara bergilir melakukan penelitian di Pulau Komodo.

 


Penghuni Pulau Komodo

Komodo adalah hewan asli Kepulauan Flores, Nusa Tenggara. Pulau yang paling banyak ditempati komodo ini diberi nama sesuai dengan nama hewan ini saat ditemukan pada 1910, yakni Pulau Komodo (Komodo Island).

Kadal-kadal raksasa ini termasuk hewan yang nyaris punah dengan jumlah populasi di alam liar kurang dari 4.000 ekor. Untuk melindungi komodo, pada 1980 disepakati untuk membentuk kawasan konservasi dalam bentuk Taman Nasional Komodo di Pulau Komodo dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Sebaran dan populasi komodo dalam tiga dasawarsa terakhir ini semakin menurun dan keberadaannya semakin terancam, terutama akibat kegiatan perburuan rusa, sebagai mangsa utamanya. Bahkan populasi di Pulau Padar diketahui telah hilang sejak akhir 1990-an, padahal pada awal tahun 1980-an, komodo masih dapat dijumpai di sana. Perhatian dan upaya konservasi spesies ini perlu diberikan secara khusus, karena populasi komodo diambang kepunahan.


Hewan Prasejarah yang Bertahan

Usai Perang Dunia I, sebuah ekspedisi ilmiah dirancang untuk melakukan penelitian komodo. Pada 1926, ekspedisi yang dipimpin W Douglas Burden dari American Museum of Natural History dengan perangkat penelitian termodern, melakukan penelitian selama berbulan-bulan.

Ekspedisi yang melibatkan puluhan orang itu menangkap 27 ekor komodo. Mereka melakukan bedah Anatomi
dan identifikasi spesies. Dari sinilah laporan ilmiah pertama yang lengkap tentang komodo dibuat.

Dideskripsikan bahwa komodo memiliki kepala yang besar dan kuat, memiliki sepasang mata yang bersinar, kulitnya keras, tebal dan liat. Memiliki kelambir kulit berkerut di bawah lehernya.

Bentuknya mirip dengan biawak, dengan empat kaki yang gemuk besar dan ekor yang juga gemuk besar panjang. Memiliki 26 gigi yang tajam, masing-masing berukuran 4 cm, memiliki lidah bercabang yang berwarna merah cerah. Jika dilihat dari kejauhan, lidah yang dijulurkan akan mirip api, karena komodo sering menjulurkan lidahnya seperti ular.

Komodo juga pemburu handal. Ia mengandalkan gigitan dan racun bakteri pada ludahnya untuk melumpuhkan mangsa. Ia akan mengikuti mangsanya yang sudah terluka selama berhari-hari, sampai akhirnya mati, barulah ia menyantapnya. Sebagai karnivora dan scavenger (pemakan bangkai), komodo memang hanya ditemui di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Gili Motang, Owadi dan Samiin. Komodo juga diketahui sebagai hewan yang jago berenang. Dengan cara itulah ia melakukan penjelajahan di pulau-pulau sekitar Flores.

Sementara itu pada pertengahan abad 20, di Australia ditemukan fosil makhluk purba yang setelah diteliti sangat mirip dengan komodo. Berdasarkan uji karbon, fosil itu diyakini berasal dari masa 60-30 juta tahun lalu. Ini berarti komodo pernah menghuni daratan Australia di masa prasejarah.

Namun peneliti masih dibingungkan dengan hubungan Pulau Komodo dengan fosil komodo dari Australia. Walau sejarah geologi bumi menunjukkan bahwa dulunya Australia dan beberapa kepulauan Indonesia adalah satu lempeng, namun Pulau Komodo diperkirakan terbentuk sekitar 1 juta tahun silam.

Sementara berdasarkan penelitian, komodo prasejarah sudah punah setidaknya 30 juta tahun lalu, sebelum Pulau Komodo terbentuk. Lantas mengapa komodo hanya bisa ditemukan di Pulau Komodo dan sekitarnya? Sejak kapan komodo menghuni Pulau Komodo? Sementara tidak pernah ditemukan jejak Belulang
komodo di tempat lain (kecuali Australia). Ini adalah satu misteri yang menuntut penelitian lebih lanjut.



Kelahiran Komodo dari Induk “Perawan”

Persis 18 hari lalu, penantian para ahli zoologi di kebun binatang Chester Zoo, Manchester, Inggris, berakhir. Sebuah fenomena alam yang mengejutkan dunia ilmu pengetahuan tentang satwa. Seekor komodo betina yang masih perawan, berhasil bertelur dan menetaskan lima di antaranya.

Berdasarkan berita yang dilansir Associated Press, Flora-begitu nama sang komodo betina itu-berhasil melahirkan lima bayi komodo tanpa peran serta pejantan penghuni Pulau Komodo pada proses pembuahan.

“Flora sangat mengagumkan, kami senang sekali mengetahui dia adalah ibu sekaligus ayah bayi-bayinya,” kata Kevin Buley, kurator kebun binatang untuk jenis vertebrata dan invertebrata.

Pada pertengahan Januari 2007, telur-telurnya mulai pecah setelah masa mengandung delapan bulan yang terjadi pada puncaknya 23 Januari 2007, dengan kelahiran komodo yang kelima. Sementara dua telur lainnya masih dieraminya.

“Penerapan program pengembangbiakan konservasi ini sangat luar biasa, sebab ini membuka jalan baru, di mana hewan-hewan dapat berpotensi menjadi Koloni
di sebuah pulau,” kata Buley.

“Betinanya mampu berenang menyeberangi sebuah pulau yang baru, lalu mengerami telur-telurnya, dan lantas mengencani bayi-bayi lelakinya dan secara seksual menghasilkan sebuah generasi normal yang baru,” tambahnya.

Tes DNA memberi bukti Akurat
bahwa Flora benar-benar berhasil melahirkan anaknya tanpa bantuan pejantan.

Disebutkannya lagi, ukuran bayi-bayi naga ini antara 16 inci (40 cm) hingga mencapai 18 inci (45 cm) dan beratnya antara 3,5 – 4,5 ons (100-125 gram).



Menyantap Jangkrik dan Belalang

Kelima anak komodo keturunan Flora ini lahir dalam keadaan sehat dan hanya makan jangkrik dan Belalang
sebagai makanan dietnya. Ini sesuai dengan kehidupan asli komodo di alam liar.

Berdasarkan pengetahuan ilmiah, saat tumbuh dewasa, bayi-bayi komodo bisa mencapai ukuran panjang 10 kaki (3 meter) dan memiliki berat sekitar 300 pon (135 kilogram). Jika mencapai ukuran luar biasa ini, mereka akan sanggup menyantap bulat-bulat seekor babi atau rusa.

Nah, selera makan yang buas pada reptil ini menjelaskan mengapa Flora tidak dibiarkan berada dekat dengan anak-anaknya. “Tidak ada insting keibuan pada diri komodo. Jadi, sangat alami untuk tetap menjaga anak-anaknya menjauh dari induknya. Induknya akan mencoba memakan apa saja yang mendekat di depan hidungnya,” jelas Buley.

Menurut data, sekitar 70 spesies reptil termasuk ular dan kadal dikenal mampu bereproduksi secara aseksual (tanpa berhubungan kelamin) dalam sebuah proses yang dikenal secara ilmiah sebagai partenogenesis. Namun, konsepsi keperawanan (virginitas) Flora dan naga komodo lainnya pada April lalu di kebun binatang London merupakan yang pertama kali didokumentasikan.

Dua konsepsi virginitas ini diumumkan pada September, yang tertuang dalam makalah ilmiah dalam jurnal Nature.






Di kutip dari :
 - IndonesiaIndonesia.com
 - Wikipedia.com


Di Sunting oleh : Abdul Rouf

Sabtu, 24 September 2011

Salam

Terima Kasih Atas Kunjungan-Nya
Dan Semoga Blog Saya Ini Bermanfaat Untuk Anda

"Berilah yang Terbaik Untuk Hidup-Mu"